Semalam, Stadion Maguwoharjo, Sleman sekali lagi diminta untuk menjadi tempat laga dari Timnas Indonesia untuk menjamu lawannya dari negeri seberang. Dari segi hasil, Indonesia sukses mematahkan taring Harimau Malaya dengan kedudukan yang cukup meyakinkan, yaitu tiga gol tanpa balas. Namun, diluar hasil yang sepintas tampak mengesankan tersebut, ada beberapa catatan tepi yang tentu tak dapat ditepikan begitu saja.
Setelah sempat menjamu Brunei Darussallam dan Timor Leste beberapa waktu yang lalu, publik sepakbola di DIY seolah dibuai dengan kabar yang menyebutkan mengenai akan digelarnya kembali sebuah laga persahabatan internasional di daerah istimewa ini. Kabar tersebut menjadi semakin menarik saat mengetahui tamu yang akan hadir adalah kesebelasan Malaysia, yang tak lain adalah rival utama Indonesia. Ya, seperti dikabarkan berbagai media massa dan media promosi yang ada kala itu, konon Timnas Indonesia U-23 yang diproyeksikan untuk ikut bertarung di gelaran Asian Games di Incheon, Korea Selatan pada tahun ini akan bersua Malaysia U-23 di Sleman. Tentu sebuah pertandingan yang panas dan berimbang mengingat keduanya berada pada level umur dan permainan yang kurang lebih sepadan. Dan hal tersebut tentu patut ditunggu.
Semakin mendekati hari pelaksanaan, panitia pelaksana pertandingan pun mempublikasikan biaya yang harus ditebus untuk menyaksikan pertandingan tersebut. Rentang harga tiket antara Rp. 30.000,00 untuk tiket kelas kurva hingga Rp. 75.000 untuk tiket kelas VVIP, menjadi sebuah kejutan tersendiri bagi publik sepakbola di Yogyakarta. Ya, dengan standar kehidupan warga di DIY yang tidak terlalu tinggi, harga tersebut dapat dikatakan relatif mahal. Sebagai pembanding, tiket kelas kurva untuk laga melawan Brunei Darussalam pada saat itu hanya dibanderol Rp. 20.000,00 saja. Bagi publik lokal, selisih harga tersebut bisa saja setara dengan dua kali makan malam mereka. Sayang, gelagat tersebut sama sekali diabaikan oleh panpel. Mungkin inilah cerminan sepakbola modern di Indonesia. Saat fans dan pemain tak lagi memiliki sepakbola, melainkan uang yang justru telah menjadi tuannya.
Satu, dua hari berlalu dan tiket sudah dilepas ke publik dengan sistem pre-order. Hingga tetiba berhembus kabar bahwa lawan yang akan dihadapi oleh Timnas Indonesia U-23 mengalami perubahan. Bukan Malaysia U-23, melainkan Malaysia U-21 yang berkompetisi di Liga Singapura. Pahit bagi saya yang sudah terlanjur memesan tiket. Bukan, ini bukan perbincangan masalah nasionalisme, melainkan mengenai hak dari seorang konsumen (baca: penonton). Ini adalah permasalahan mengenai trust and satisfaction dari pihak yang mengkonsumsi sebuah tawaran produk. Bagaimana tidak kecewa, ibarat kata saya memesan semangkok mie ayam namun yang dihidangkan dihadapan saya hanyalah mie instan dalam kemasan. Dua menu yang berasal dari pokok yang sama namun berbeda dalam masalah cita rasa dan tentu saja, harga. Namun apa daya, di negara ini konsumen (baca: penonton) hanyalah dapat berteriak dalam ruang kedap suara. Ah, sial!
Kekecewaan ini semakin mendalam saat mengetahui lambannya klarifikasi ataupun penjelasan resmi dari federasi akan hal tersebut kepada publik secara luas. Bahkan hingga satu hari menjelang, beberapa media massa (khususnya cetak) pun seolah masih belum menyadari akan perubahan lawan yang akan dihadapi Indonesia U-23. Tentu menyedihkan saat melihat organisasi sebesar PSSI belum memiliki kepedulian dan kapabilitas dalam berkomunikasi dengan publiknya dengan baik. Ironis bukan?
Ingin sekali rasanya meminta refund, mengingat informasi mengenai perubahan lawan Indonesia U-23 ini baru mulai terpublikasikan saat tiket sudah terlanjur saya pesan dan menyaksikannya dari layar kaca saja. Terlebih, saya bukan berasal dari kalangan ekonomi atas. Namun rasanya kok tidak adil jika saya menumpahkan kekesalan terhadap federasi kepada timnas yang sedang berjuang agar layak menjadi representasi bangsa Indonesia di pentas olahraga internasional.
Tapi, ah sudahlah. Toh, ini sebenarnya saya bukan menjadi satu-satunya pihak yang dirugikan. Dilihat dari kacamata citra dan reputasi, situasi seharusnya disadari menjadi sebuah kerugian tersendiri bagi PSSI. Apa yang telah tergelar kemarin adalah sebuah panggung terbuka yang menunjukkan sejauh mana kelas dan kualitas lobi serta kekuatan relasi yang dimiliki PSSI di dunia sepakbola internasional. Berbagai pembatalan rencana ujicoba oleh federasi lawan hingga yang terakhir mengenai pergantian timnas Malaysia yang dikirim ke Sleman, seharusnya menjadi sebuah tamparan yang menghadirkan rasa malu bagi federasi. Ya, semoga saja mereka masih bisa merasa.
Dan pada gelaran semalam, Stadion Maguwoharjo telah selesai menunaikan tugasnya. Hanya saja menjadi sesuatu yang tidak biasa saat melihat dua kurva yang ada Sleman tampak lebih lengang. Tidak terlihat kepadatan yang sedemikian rapat seperti kala menggelar laga internasional sebelumnya. Tidak pula terlihat antusiasme dan gairah yang sedemikian menggelora saat stadion itu memanggungkan laga-laga klub lokal daerah tersebut di kompetisi reguler. Begitu banyak ruang-ruang yang tersisa di berbagai sudut, terutama di kedua kurva dan Tribun VIP serta VVIP. Dari pengamatan yang saya lakukan, praktis hanya Tribun Timur yang merupakan tempat dimana saya duduklah, yang relatif ramai. Mungkin panpel bisa saja mengelak dengan menuding faktor cuaca yang tidak bersahabat dan lainnya sebagai penyebab minimnya penonton. Namun, saya pribadi tetap berharap agar mereka tidak abai bahwa sejatinya sepakbola itu (idealnya) tidaklah melulu mengenai uang.
Sementara itu, mengenai adanya insiden pelemparan gelas air mineral ke lapangan dan gesekan antara polisi dengan penonton paska laga tadi malam, saya pribadi hanya bisa mengungkapkan rasa prihatin. Dengan label rival bebuyutan, duel semalam sudah menurunkan jumlah keamanan yang bisa dibilang sangat banyak. Namun sekali lagi, ini masalah kualitas dan bukan kuantitas. Percuma ada ribuan jumlah keamanan jika tidak ada langkah strategis yang diambil. Stadion tidak membutuhkan kehadiran penonton tambahan, melainkan pihak-pihak yang mampu mengambil tindakan pencegahan secara simpatik pada kemungkinan munculnya kericuhan dan hal-hal negatif lainnya. Dan dalam opini saya pribadi, apa yang terjadi semalam juga menunjukkan kegagalan sistem keamanan yang diterapkan. Bukannya sikap preventif dan persuasif yang dikedepankan, justru sikap reaktif dan represif yang terjadi lapangan. Karena dalam pandangan saya, kerusuhan bukanlah sesuatu yang harus ditunggu, melainkan sesuatu yang harus dicegah. Dengan demikian, ayunan tongkat rotan dan tembakan (entah gas air mata atau apa) yang dilepaskan semalam seharusnya tak perlu terjadi jika ada pencegahan melalui komunikasi dua arah yang apik, bukan justru disalurkan lewat benturan fisik. Dan sebagai pihak yang berkewenangan, alangkah bijaknya jika Kepolisian juga dibekali kemampuan menggunakan persenjataan yang mereka miliki untuk mengendalikan situasi, bukan justru membuat situasi tak terkendali. Harus disadari bahwa setiap mahkluk, termasuk penonton sepakbola, memiliki mekanisme dan naluri pertahanan diri. Saat mereka diancam mereka melawan, saat diperlakukan secara layak mereka pun pasti tak akan berontak.
Namun, demikian, apapun yang tertulis di atas, bagi saya pribadi sepakbola adalah milik semua yang mencintainya dan didalamanya tidak akan pernahada pembenaran untuk setiap bentuk kekerasan yang terjadi.
Lekaslah engkau sembuh, (federasi) sepakbola Indonesia.
No comments:
Post a Comment