Thursday, 20 February 2014
Di Bawah Lindungan Stadion
Gonzales tiba di stadion untuk memulai tugasnya sebagai sukarelawan pada satu senja di akhir pekan, pada jam-jam di mana dirinya (dalam kata-kata Gonzales) "biasanya sedang berganti pakaian untuk memulai pertandingan". Dengan penuh penyesalan, Gonzales mengangkat hidungnya ke atas sambil membayangkan bau ramuan pijatan di kamar ganti, tribun yang sesak oleh penonton, riuh rendah dengungan suporter yang tak henti-hentinya bernyanyi, seragam yang berwarna menyala di lapangan yang rumputnya agak kecoklatan, jeruk yang dibagikan saat jeda pertandingan….
Bagi Gonzales agaknya sudah jelas: stadion menjadi penemuan kembali kemanusiaannya yang akhirnya memilih untuk mencoba merawat kehidupan sebisa-bisanya. Melalui pilihan akhir Gonzales itu, Camus dengan lembut mengungkapkan apa yang kelak menjadi salah satu kutipannya yang paling masyhur sekaligus telah menjadi klise: "Untuk segala yang saya ketahui tentang moralitas dan tanggungjawab, saya berhutang pada sepakbola."
Tapi pada saat yang sama, sejak hari itu, ingatan Gonzales tentang stadion di kota Oran juga diselimut aura getir yang tak akan bisa dilupakan: sampai kapan pun dia akan ingat orang-orang sekarat yang satu per satu menghembuskan nafas penghabisan di lorong-lorong stadion, di bangku-bangku tribun dan di atas hamparan rumput.
Saya ingin mengingat stadion sebagai tempat yang indah. Saya tak sudi terkenang hal-hal muram saat memasuki sebuah stadion. Itu saya. Entah dengan Anda. Lagipula, terkadang, hal buruk atau hal baik datang sekonyong-konyong tanpa sempat memberi kita pilihan.
Penulis: chief editor @panditfootball . Akun twitter: @zenrs
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment